I Love You Mbah Surip, Turut Berduka Cita, Semoga Diterima Di sisi-NYA, Banner Utama 570x80
Pasang Banner Di Sini Hubungi Kami
Kamis, 16 Juli 2009

SEKOLAH PUN BAYAR SAYUR MAYUR...!!

Sekolah bayar sayur? Mungkin hal itu tak pernah terbayangkan dibenak Anda. Namun hal itu nyata adanya dan diterapkan di lembaga pendidikan SD dab SMP ALAM, Dusun Jenengsari Desa Genteng Kulon Kecamatan Genteng, Banyuwangi.

Meski pagi itu mendung menggelayut dilangit Banyuwangi, namun tak mengurangi semangat Ifan Muzadi untuk mengikuti hari pertama disekolah barunya. Ifan salah seorang dari 30 siswa siswa baru di SMP ALAM. Remaja itu lahir 16 tahun yang lalu ditengah keluarga tak mampu di sebuah Desa di Nusa Tenggara Timur. Masa depannya nyaris pupus lantaran kedua orang tuanya 'pasrah' dengan tingginya biaya pendidikan yang layak di Negeri ini.

Namun, secercah harapan untuk masa depannya itu masih ada. Di SMP yang kerap disebut sekolah sayur ini, biaya tak menjadi penghalang untuk mengenyam pendidikan yang layak. Yayasan Banyuwangi Islamic School (BIS), pengelola sekolah berkonsep lingkungan itu tak menetapkan biaya seperti SPP atau uang gedung untuk para siswanya.

"Tak ada biaya apapun, bayarnya apa yang dipunya wali murid. Ada sayur.. ya sayur, ada tomat.. ya tomat tidak bayar pun tak mengapa," jelas Muhammad Farid (35), Kepala Sekolah SD dan SMP ALAM, saat menemaniku berkeliling komplek sekolahnya, kala siang itu.

Lantas dipakai untuk apa sayur mayur dari wali murid itu oleh pihak sekolah? Sayur mayur (atau lainnya) itupun dimasak dan disajikan ke para murid yang selama menjalani pendidikan tinggal di asrama. Sekolah ini memang mewajibkan siswanya untuk tinggal di asrama (Ada dua asrama, putra dan putri). Di hari Sabtu dan Minggu, siswa diberikan waktu untuk pulang kerumah masing-masing. Praktis para siswa masuk kelas hanya lima hari, Senin sampai Jumat.

"Mereka pulang ke rumah pun membawa misi, yakni, menularkan ilmunya ke SD asal mereka. Istilahnya mereka diajarkan untuk dakwah mulai dini," jelas Farid lagi.

Nuansa perpaduan antara pondok pesantren dan sekolah formal sangat terasa disekolah ini. Para pendiri dan pengurus sekolah ALAM, rata-rata menyelesaikan pendidikan sarjananya di Pergurutan Tinggi Islam. Ruang sekolah di desain layaknya gubuk sawah. Tanpa sekat dan kursi. Saat belajar para murid lesehan dilantai bambu. Suasana santai penuh semangat kebersamaan, itulah yang tercipta.

Menurut Farid, sekolah yang dikelolanya menerapkan sistem pembelajaran aktif. Para siswa dibiasakan untuk aktif dan mandiri dalam mempelajari dan mengkaji materi. Proses pembelajaran para murid akan didampingi seorang asisten atau tutor. Guru hanya berfungsi sebagai evaluator.

Alhasil, dua angkatan yang sudah lulus dari sekolah ALAM terbukti memiliki kemampuan lebih. Minimal kemampuan untuk berbahasa Inggris dan Bahasa Arab, menghitung cepat ala sempoa, serta melek Teknologi. Sepertinya tak banyak sekolah yang 'berani' menerapkan sistem serupa, karena sistem tersebut banyak tantangan dalam penerapannya.

"Sistem ini lebih menanamkan siswa untuk termotifasi belajar sendiri secara aktif dengan penuh kesadaran, tanpa ada paksaan. Jadi ada guru atau tidak ada guru, mereka akan tetap belajar. Tak mudah untuk melakukannya, tapi kami sudah buktikan itu," ungkap Farid panjang lebar.

Tentu saja, keberadaan sekolah sayur itu menjadi pilihan bagi masyarakat. Baik dari kalangan bawah atau kalangan berada, ditengah kebutuhan akan pendidikan berkualitas dan murah. Apalagi, nilai-nilai Agama (Islam) menjadi penyimbang. Selain itu sekolah ALAM tersebut mendapat dukungan dari Dinas Pendidikan dengan memberikan ijazah resmi bagi siswa yang lulus.

Dari grafik jumlah siswa yang masuk ke sekolah ini, ditiap tahunnya menunjukkan peningkatan. Grafik itu sekaligus menunjukan jumlah anak bangsa, yang masa depannya terselamatkan dengan hanya membayar Sayur mayur. Termasuk remaja asal Nusa Tenggara Timur bernama Irfan Muzadi.

SEKOLAH PUN BAYAR SAYUR MAYUR...!!

Sekolah bayar sayur? Mungkin hal itu tak pernah terbayangkan dibenak Anda. Namun hal itu nyata adanya dan diterapkan di lembaga pendidikan SD dab SMP ALAM, Dusun Jenengsari Desa Genteng Kulon Kecamatan Genteng, Banyuwangi.

Meski pagi itu mendung menggelayut dilangit Banyuwangi, namun tak mengurangi semangat Ifan Muzadi untuk mengikuti hari pertama disekolah barunya. Ifan salah seorang dari 30 siswa siswa baru di SMP ALAM. Remaja itu lahir 16 tahun yang lalu ditengah keluarga tak mampu di sebuah Desa di Nusa Tenggara Timur. Masa depannya nyaris pupus lantaran kedua orang tuanya 'pasrah' dengan tingginya biaya pendidikan yang layak di Negeri ini.

Namun, secercah harapan untuk masa depannya itu masih ada. Di SMP yang kerap disebut sekolah sayur ini, biaya tak menjadi penghalang untuk mengenyam pendidikan yang layak. Yayasan Banyuwangi Islamic School (BIS), pengelola sekolah berkonsep lingkungan itu tak menetapkan biaya seperti SPP atau uang gedung untuk para siswanya.

"Tak ada biaya apapun, bayarnya apa yang dipunya wali murid. Ada sayur.. ya sayur, ada tomat.. ya tomat tidak bayar pun tak mengapa," jelas Muhammad Farid (35), Kepala Sekolah SD dan SMP ALAM, saat menemaniku berkeliling komplek sekolahnya, kala siang itu.

Lantas dipakai untuk apa sayur mayur dari wali murid itu oleh pihak sekolah? Sayur mayur (atau lainnya) itupun dimasak dan disajikan ke para murid yang selama menjalani pendidikan tinggal di asrama. Sekolah ini memang mewajibkan siswanya untuk tinggal di asrama (Ada dua asrama, putra dan putri). Di hari Sabtu dan Minggu, siswa diberikan waktu untuk pulang kerumah masing-masing. Praktis para siswa masuk kelas hanya lima hari, Senin sampai Jumat.

"Mereka pulang ke rumah pun membawa misi, yakni, menularkan ilmunya ke SD asal mereka. Istilahnya mereka diajarkan untuk dakwah mulai dini," jelas Farid lagi.

Nuansa perpaduan antara pondok pesantren dan sekolah formal sangat terasa disekolah ini. Para pendiri dan pengurus sekolah ALAM, rata-rata menyelesaikan pendidikan sarjananya di Pergurutan Tinggi Islam. Ruang sekolah di desain layaknya gubuk sawah. Tanpa sekat dan kursi. Saat belajar para murid lesehan dilantai bambu. Suasana santai penuh semangat kebersamaan, itulah yang tercipta.

Menurut Farid, sekolah yang dikelolanya menerapkan sistem pembelajaran aktif. Para siswa dibiasakan untuk aktif dan mandiri dalam mempelajari dan mengkaji materi. Proses pembelajaran para murid akan didampingi seorang asisten atau tutor. Guru hanya berfungsi sebagai evaluator.

Alhasil, dua angkatan yang sudah lulus dari sekolah ALAM terbukti memiliki kemampuan lebih. Minimal kemampuan untuk berbahasa Inggris dan Bahasa Arab, menghitung cepat ala sempoa, serta melek Teknologi. Sepertinya tak banyak sekolah yang 'berani' menerapkan sistem serupa, karena sistem tersebut banyak tantangan dalam penerapannya.

"Sistem ini lebih menanamkan siswa untuk termotifasi belajar sendiri secara aktif dengan penuh kesadaran, tanpa ada paksaan. Jadi ada guru atau tidak ada guru, mereka akan tetap belajar. Tak mudah untuk melakukannya, tapi kami sudah buktikan itu," ungkap Farid panjang lebar.

Tentu saja, keberadaan sekolah sayur itu menjadi pilihan bagi masyarakat. Baik dari kalangan bawah atau kalangan berada, ditengah kebutuhan akan pendidikan berkualitas dan murah. Apalagi, nilai-nilai Agama (Islam) menjadi penyimbang. Selain itu sekolah ALAM tersebut mendapat dukungan dari Dinas Pendidikan dengan memberikan ijazah resmi bagi siswa yang lulus.

Dari grafik jumlah siswa yang masuk ke sekolah ini, ditiap tahunnya menunjukkan peningkatan. Grafik itu sekaligus menunjukan jumlah anak bangsa, yang masa depannya terselamatkan dengan hanya membayar Sayur mayur. Termasuk remaja asal Nusa Tenggara Timur bernama Irfan Muzadi.

0 komentar:

Posting Komentar

Pasang Banner Di Sini Hubungi Kami
 
Portal Design By Trik-tips Blog - Erwin Krisdiyanto © 2009 | Karir | Kontak | Aturan | Kebijakan | Tentang Kami | Kerjasama | Kembali Ke Atas
PIKKO - Pusat Informasi, Komunikasi, dan Komunitas Online