I Love You Mbah Surip, Turut Berduka Cita, Semoga Diterima Di sisi-NYA, Banner Utama 570x80
Pasang Banner Di Sini Hubungi Kami
Kamis, 06 Agustus 2009

Perayaan HUT RI 17 Agustus 2009

HUT RI Ke-61
Baca Selengkapnya

Perayaan HUT RI 17 Agustus 2009

HUT RI Ke-61
Baca Selengkapnya
Kamis, 30 Juli 2009

DEMO TUNTUT PENAHANAN BUPATI BANYUWANGI NYARIS RICUH

Belasan warga Banyuwangi, yang tergabung dalam komunitas rakyat peduli keadilan Banyuwangi, melurug Kantor Kejaksaan Negeri Banyuwangi, Kamis (30/7/2009) saing. Kedatangan mereka terkait, ketidak jelasan, proses hukum Bupati Ratna Ani Lestari yang resmi ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi lapangan terbang di Desa Blimbingsari Kecamatan Rogojampi.

Kedatangan massa tersebut sempat dihadang oleh aparat kepolisian dari Polres Banyuwangi yang melakukan penjagaan dipintu masuk kantor Kejari. Situasi semakin tegang saat rombongan warga yang ingin masuk tak diijinkan. Akibatnya, adu mu
lut dan saling dorong antara massa dan petugas tak terelakan. Warga mencaci maki petugas dan meneriakan yel-yel.

"Loh.. ini milik rakyat, kami mau masuk. Kami hanya ingin tahu sampai sejauh mana proses hukum Bupati," teriak Husaini, kordinator aksi saat petugas berupaya menghalangi dipintu masuk Kejari.

Melihat warga semakin nekad, akhirnya Polisi berupaya untuk bernegoisasi. Alhasil lima perwakilan warga diperbolehkan masuk menemui Kepala Kejaksaan Negeri Banyuwangi. Namun warga hanya ditemui Kepala Seksi Intelijen, Ikhwan Efendi. Pasalnya, Kajari sedang tidak dinas keluar kota.

"Silahkan perwakilan saja yang masuk, lima orang," kata salah seorang Petugas.

Didalam pertemuan, warga hanya menanyakan seberapa jauh proses hukum Bupati Ratna Ani Lestari. Pasalnya, sejak ditetapkan menjadi salah satu tersangka kasus korupsi lapangan terbang Banyuwangi, bulan Agustus 2008 lalu. Hingga kini yang bersangkutan belum juga ditahan. Hal itu memunculkan berbagai dugaan termasuk tuduhan sikap tebang pilih pihak Kejari.

"Surat sudah kami layangkan ke Kejaksaan Agung, tapi hingga hari ini belum ada jawaban," jelas Kasi Intelijen, Ikhwan Efendi, sambil menunjukan copy lembaran surat yang dimaksud.

Setelah mendapat jawaban tersebut, akhirnya warga membubarkan diri sekitar pukul 12.00 WIB. Namun sebelum meninggalkan tempat, mereka mengancam akan melakukan pendudukan kantor Kejari Banyuwangi, jika surat yang dilayangkan itu tidak benar adanya.

"Kami akan lakukan pengecekan langsung ke Kejagung, jika tidak benar kami akan terpaksa kami akan melakukan gerakan tiap hari di sini," tegas Husaini.

CJ : Hasyim Wahid
Baca Selengkapnya

DEMO TUNTUT PENAHANAN BUPATI BANYUWANGI NYARIS RICUH

Belasan warga Banyuwangi, yang tergabung dalam komunitas rakyat peduli keadilan Banyuwangi, melurug Kantor Kejaksaan Negeri Banyuwangi, Kamis (30/7/2009) saing. Kedatangan mereka terkait, ketidak jelasan, proses hukum Bupati Ratna Ani Lestari yang resmi ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi lapangan terbang di Desa Blimbingsari Kecamatan Rogojampi.

Kedatangan massa tersebut sempat dihadang oleh aparat kepolisian dari Polres Banyuwangi yang melakukan penjagaan dipintu masuk kantor Kejari. Situasi semakin tegang saat rombongan warga yang ingin masuk tak diijinkan. Akibatnya, adu mu
lut dan saling dorong antara massa dan petugas tak terelakan. Warga mencaci maki petugas dan meneriakan yel-yel.

"Loh.. ini milik rakyat, kami mau masuk. Kami hanya ingin tahu sampai sejauh mana proses hukum Bupati," teriak Husaini, kordinator aksi saat petugas berupaya menghalangi dipintu masuk Kejari.

Melihat warga semakin nekad, akhirnya Polisi berupaya untuk bernegoisasi. Alhasil lima perwakilan warga diperbolehkan masuk menemui Kepala Kejaksaan Negeri Banyuwangi. Namun warga hanya ditemui Kepala Seksi Intelijen, Ikhwan Efendi. Pasalnya, Kajari sedang tidak dinas keluar kota.

"Silahkan perwakilan saja yang masuk, lima orang," kata salah seorang Petugas.

Didalam pertemuan, warga hanya menanyakan seberapa jauh proses hukum Bupati Ratna Ani Lestari. Pasalnya, sejak ditetapkan menjadi salah satu tersangka kasus korupsi lapangan terbang Banyuwangi, bulan Agustus 2008 lalu. Hingga kini yang bersangkutan belum juga ditahan. Hal itu memunculkan berbagai dugaan termasuk tuduhan sikap tebang pilih pihak Kejari.

"Surat sudah kami layangkan ke Kejaksaan Agung, tapi hingga hari ini belum ada jawaban," jelas Kasi Intelijen, Ikhwan Efendi, sambil menunjukan copy lembaran surat yang dimaksud.

Setelah mendapat jawaban tersebut, akhirnya warga membubarkan diri sekitar pukul 12.00 WIB. Namun sebelum meninggalkan tempat, mereka mengancam akan melakukan pendudukan kantor Kejari Banyuwangi, jika surat yang dilayangkan itu tidak benar adanya.

"Kami akan lakukan pengecekan langsung ke Kejagung, jika tidak benar kami akan terpaksa kami akan melakukan gerakan tiap hari di sini," tegas Husaini.

CJ : Hasyim Wahid
Baca Selengkapnya
Senin, 27 Juli 2009

PENGAMEN JALANAN SEKARAT DI MUSHOLA

Seorang pengamen jalanan ditemukan sekarat di dalam mushola terminal Desa Jajag Kecamatan Gambiran, Banyuwangi. Meski berupaya diselamatkan ke rumah sakit terdekat, namun nyawa korban tak tertolong lagi, Minggu (26/7/2009) sore kemarin.

Diduga, korban overdosis obat yang dicampurnya dengan minuman beralkohol. Hal itu diperkuat dengan keterangan beberapa rekan korban yang dimintai keterangan oleh Polisi. Selain itu, hasil pemeriksaan medis juga menyebutkan hal yang sama. Yakni penyalahgunaan obat dalam dosis berlebihan.

"Pemeriksaan dokter mengarah pada itu, bisa jadi pil distro yang diminumnya," jelas Kapolsek Gambiran, AKP Ma'ruf, saat ditemui wartawan dikantornya, Senin (27/6/2009).

Mayat korban kini dititipkan di kamar mayat RSUD Genteng. Hal itu dilakukan setelah Polisi kesulitan untuk melacak identitasnya. Ditubuh korban tak satupun ditemukan kartu identitas. Polisi hanya mengetahui nama korban, yaitu, Yudi alias Buang. Nama tersebut didapatkan Polisi dari rekan-rekan korban sesama pengamen.

Dari informasi yang dihimpun menyebutkan, semula korban disangka tidur. Pasalnya, korban terlihat tidur di musola sejak, Sabtu (25/7/2009) malam. Korban diketahui sekarat, setelah salah seorang warga yang hendak solat duhur di musola itu, merasa curiga dengan kondisi korban. Terlebih dari rongga mulut korban dipenuhi buih berwarna putih.

"Saya lihat ada buih dimulutnya, nafasnya juga tersengal-sengal," jelas Hatta, saksi mata.

Setelah beberapa saat menjalani perawatan dirumah sakit, akhirnya korban menghembuskan nafas terakhirnya. Polisi masih berupaya mencari kejelasan identitas korban. Rencananya mayat pengamen itu akan dimakamkan, jika dalam waktu tiga hari pencarian identitas korban belum juga ditemukan.

CJ : Irul Hamdani
Baca Selengkapnya

PENGAMEN JALANAN SEKARAT DI MUSHOLA

Seorang pengamen jalanan ditemukan sekarat di dalam mushola terminal Desa Jajag Kecamatan Gambiran, Banyuwangi. Meski berupaya diselamatkan ke rumah sakit terdekat, namun nyawa korban tak tertolong lagi, Minggu (26/7/2009) sore kemarin.

Diduga, korban overdosis obat yang dicampurnya dengan minuman beralkohol. Hal itu diperkuat dengan keterangan beberapa rekan korban yang dimintai keterangan oleh Polisi. Selain itu, hasil pemeriksaan medis juga menyebutkan hal yang sama. Yakni penyalahgunaan obat dalam dosis berlebihan.

"Pemeriksaan dokter mengarah pada itu, bisa jadi pil distro yang diminumnya," jelas Kapolsek Gambiran, AKP Ma'ruf, saat ditemui wartawan dikantornya, Senin (27/6/2009).

Mayat korban kini dititipkan di kamar mayat RSUD Genteng. Hal itu dilakukan setelah Polisi kesulitan untuk melacak identitasnya. Ditubuh korban tak satupun ditemukan kartu identitas. Polisi hanya mengetahui nama korban, yaitu, Yudi alias Buang. Nama tersebut didapatkan Polisi dari rekan-rekan korban sesama pengamen.

Dari informasi yang dihimpun menyebutkan, semula korban disangka tidur. Pasalnya, korban terlihat tidur di musola sejak, Sabtu (25/7/2009) malam. Korban diketahui sekarat, setelah salah seorang warga yang hendak solat duhur di musola itu, merasa curiga dengan kondisi korban. Terlebih dari rongga mulut korban dipenuhi buih berwarna putih.

"Saya lihat ada buih dimulutnya, nafasnya juga tersengal-sengal," jelas Hatta, saksi mata.

Setelah beberapa saat menjalani perawatan dirumah sakit, akhirnya korban menghembuskan nafas terakhirnya. Polisi masih berupaya mencari kejelasan identitas korban. Rencananya mayat pengamen itu akan dimakamkan, jika dalam waktu tiga hari pencarian identitas korban belum juga ditemukan.

CJ : Irul Hamdani
Baca Selengkapnya
Kamis, 16 Juli 2009

Demi Kebutuhan Ekonomi, 5 Keluarga Rela Hidup di Hutan Pinus

Gunung Raung yang memiliki ketinggian 3.332 meter di atas permukaan laut (dpl) berada di wilayah Kabupaten Banyuwangi dan Jember, alamnya masih alami dengan hutan lindung yang memberikan kenyamanan.

Namun siapa sangka di kaki Gunung Raung, tepatnya di Dusun Sidomulyo, Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Banyuwangi, terdapat pemukiman yang dihuni 5 Kepala Keluarga (KK). Penghuninya yakni, Miski(56) asal Desa Margomulyo Kecamatan Glenmore, Banyuwangi, Suham(32), Sahawi(31), Latif (45) dan Asmat (60) asal Kecamatan Arjasa, Jember.

Ke-5 orang itu rata-rata sudah puluhan tahun menetap dan hidup dari hasil hutan. Mereka tinggal di daerah yang dikenal dengan sebutan Curah Ombo (Jurang lebar). Sebutan itu diambil dari jurang menganga lebar yang terdapat di kawasan hutan yang dikelola Perhutani Banyuwangi Barat.

Tidak mudah untuk sampai ke tempat itu lantaran jalan terjal berbatu dan menanjak sepanjang jalan menjadi satu-satunya fasilitas yang ada. Jika ditempuh dari Desa Jambewangi, kawasan itu memerlukan 3 jam perjalanan.

Rupanya, ke-5 orang itu mengaku hidup di tengah hutan pinus yang sepi dan jauh dari keramaian, hanya sebuah keterpaksaan lantaran perekonomian keluarga yang pas-pasan.

"Di kampung tidak ada yang bisa diharapkan, sawah juga gak punya. Mau bagaimana lagi," keluh Latif sambil mengusap keringat di dahinya di kesempatan kala itu.

Menyadap getah pinus menjadi rutinitas sehari-hari. Meski pendapatan lainnya didapat dari berternak kambing untuk digemukkan. Awalnya hidup di hutan belantara dirasakan kurang nyaman, namun lambat laun para pekerja keras itu mulai terbiasa. Meski kendala acapkali dirasakan.

"Susahnya kalau cari sembako, masa harus turun gunung," kata Miski, penyadap pinus lainnya.

Selain itu, kendala lainnya,lanjut Miski, jika senja datang di pemukiman mereka bisa dipastikan akan gelap gulita. Hanya cahaya lampu templek yang menjadi penerangnya.

Belum lagi, yang memiliki anak usia sekolah seperti Suham, rekan Miski. Pagi-pagi sekali Suham harus turun gunung mengantar anaknya berangkat sekolah dan di siang harinya harus menjemputnya kembali.

"Pukul 05.00 WIB subuh saya sudah turun gunung, meski tinggal di gunung anak saya harus sekolah," tegas laki-laki berpawakan sedang ini.

Meski hidup bertahun-tahun di hutan, membuat mereka tetap bertahan. Penghasilan ekonomi keluarga menjadi lebih baik dibandingkan saat hidup di kampungnya. "Sebulan penghasilan kami rata-rata sekitar Rp 900 ribu," ucap Suham bangga.
Baca Selengkapnya

Demi Kebutuhan Ekonomi, 5 Keluarga Rela Hidup di Hutan Pinus

Gunung Raung yang memiliki ketinggian 3.332 meter di atas permukaan laut (dpl) berada di wilayah Kabupaten Banyuwangi dan Jember, alamnya masih alami dengan hutan lindung yang memberikan kenyamanan.

Namun siapa sangka di kaki Gunung Raung, tepatnya di Dusun Sidomulyo, Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Banyuwangi, terdapat pemukiman yang dihuni 5 Kepala Keluarga (KK). Penghuninya yakni, Miski(56) asal Desa Margomulyo Kecamatan Glenmore, Banyuwangi, Suham(32), Sahawi(31), Latif (45) dan Asmat (60) asal Kecamatan Arjasa, Jember.

Ke-5 orang itu rata-rata sudah puluhan tahun menetap dan hidup dari hasil hutan. Mereka tinggal di daerah yang dikenal dengan sebutan Curah Ombo (Jurang lebar). Sebutan itu diambil dari jurang menganga lebar yang terdapat di kawasan hutan yang dikelola Perhutani Banyuwangi Barat.

Tidak mudah untuk sampai ke tempat itu lantaran jalan terjal berbatu dan menanjak sepanjang jalan menjadi satu-satunya fasilitas yang ada. Jika ditempuh dari Desa Jambewangi, kawasan itu memerlukan 3 jam perjalanan.

Rupanya, ke-5 orang itu mengaku hidup di tengah hutan pinus yang sepi dan jauh dari keramaian, hanya sebuah keterpaksaan lantaran perekonomian keluarga yang pas-pasan.

"Di kampung tidak ada yang bisa diharapkan, sawah juga gak punya. Mau bagaimana lagi," keluh Latif sambil mengusap keringat di dahinya di kesempatan kala itu.

Menyadap getah pinus menjadi rutinitas sehari-hari. Meski pendapatan lainnya didapat dari berternak kambing untuk digemukkan. Awalnya hidup di hutan belantara dirasakan kurang nyaman, namun lambat laun para pekerja keras itu mulai terbiasa. Meski kendala acapkali dirasakan.

"Susahnya kalau cari sembako, masa harus turun gunung," kata Miski, penyadap pinus lainnya.

Selain itu, kendala lainnya,lanjut Miski, jika senja datang di pemukiman mereka bisa dipastikan akan gelap gulita. Hanya cahaya lampu templek yang menjadi penerangnya.

Belum lagi, yang memiliki anak usia sekolah seperti Suham, rekan Miski. Pagi-pagi sekali Suham harus turun gunung mengantar anaknya berangkat sekolah dan di siang harinya harus menjemputnya kembali.

"Pukul 05.00 WIB subuh saya sudah turun gunung, meski tinggal di gunung anak saya harus sekolah," tegas laki-laki berpawakan sedang ini.

Meski hidup bertahun-tahun di hutan, membuat mereka tetap bertahan. Penghasilan ekonomi keluarga menjadi lebih baik dibandingkan saat hidup di kampungnya. "Sebulan penghasilan kami rata-rata sekitar Rp 900 ribu," ucap Suham bangga.
Baca Selengkapnya

SEKOLAH PUN BAYAR SAYUR MAYUR...!!

Sekolah bayar sayur? Mungkin hal itu tak pernah terbayangkan dibenak Anda. Namun hal itu nyata adanya dan diterapkan di lembaga pendidikan SD dab SMP ALAM, Dusun Jenengsari Desa Genteng Kulon Kecamatan Genteng, Banyuwangi.

Meski pagi itu mendung menggelayut dilangit Banyuwangi, namun tak mengurangi semangat Ifan Muzadi untuk mengikuti hari pertama disekolah barunya. Ifan salah seorang dari 30 siswa siswa baru di SMP ALAM. Remaja itu lahir 16 tahun yang lalu ditengah keluarga tak mampu di sebuah Desa di Nusa Tenggara Timur. Masa depannya nyaris pupus lantaran kedua orang tuanya 'pasrah' dengan tingginya biaya pendidikan yang layak di Negeri ini.

Namun, secercah harapan untuk masa depannya itu masih ada. Di SMP yang kerap disebut sekolah sayur ini, biaya tak menjadi penghalang untuk mengenyam pendidikan yang layak. Yayasan Banyuwangi Islamic School (BIS), pengelola sekolah berkonsep lingkungan itu tak menetapkan biaya seperti SPP atau uang gedung untuk para siswanya.

"Tak ada biaya apapun, bayarnya apa yang dipunya wali murid. Ada sayur.. ya sayur, ada tomat.. ya tomat tidak bayar pun tak mengapa," jelas Muhammad Farid (35), Kepala Sekolah SD dan SMP ALAM, saat menemaniku berkeliling komplek sekolahnya, kala siang itu.

Lantas dipakai untuk apa sayur mayur dari wali murid itu oleh pihak sekolah? Sayur mayur (atau lainnya) itupun dimasak dan disajikan ke para murid yang selama menjalani pendidikan tinggal di asrama. Sekolah ini memang mewajibkan siswanya untuk tinggal di asrama (Ada dua asrama, putra dan putri). Di hari Sabtu dan Minggu, siswa diberikan waktu untuk pulang kerumah masing-masing. Praktis para siswa masuk kelas hanya lima hari, Senin sampai Jumat.

"Mereka pulang ke rumah pun membawa misi, yakni, menularkan ilmunya ke SD asal mereka. Istilahnya mereka diajarkan untuk dakwah mulai dini," jelas Farid lagi.

Nuansa perpaduan antara pondok pesantren dan sekolah formal sangat terasa disekolah ini. Para pendiri dan pengurus sekolah ALAM, rata-rata menyelesaikan pendidikan sarjananya di Pergurutan Tinggi Islam. Ruang sekolah di desain layaknya gubuk sawah. Tanpa sekat dan kursi. Saat belajar para murid lesehan dilantai bambu. Suasana santai penuh semangat kebersamaan, itulah yang tercipta.

Menurut Farid, sekolah yang dikelolanya menerapkan sistem pembelajaran aktif. Para siswa dibiasakan untuk aktif dan mandiri dalam mempelajari dan mengkaji materi. Proses pembelajaran para murid akan didampingi seorang asisten atau tutor. Guru hanya berfungsi sebagai evaluator.

Alhasil, dua angkatan yang sudah lulus dari sekolah ALAM terbukti memiliki kemampuan lebih. Minimal kemampuan untuk berbahasa Inggris dan Bahasa Arab, menghitung cepat ala sempoa, serta melek Teknologi. Sepertinya tak banyak sekolah yang 'berani' menerapkan sistem serupa, karena sistem tersebut banyak tantangan dalam penerapannya.

"Sistem ini lebih menanamkan siswa untuk termotifasi belajar sendiri secara aktif dengan penuh kesadaran, tanpa ada paksaan. Jadi ada guru atau tidak ada guru, mereka akan tetap belajar. Tak mudah untuk melakukannya, tapi kami sudah buktikan itu," ungkap Farid panjang lebar.

Tentu saja, keberadaan sekolah sayur itu menjadi pilihan bagi masyarakat. Baik dari kalangan bawah atau kalangan berada, ditengah kebutuhan akan pendidikan berkualitas dan murah. Apalagi, nilai-nilai Agama (Islam) menjadi penyimbang. Selain itu sekolah ALAM tersebut mendapat dukungan dari Dinas Pendidikan dengan memberikan ijazah resmi bagi siswa yang lulus.

Dari grafik jumlah siswa yang masuk ke sekolah ini, ditiap tahunnya menunjukkan peningkatan. Grafik itu sekaligus menunjukan jumlah anak bangsa, yang masa depannya terselamatkan dengan hanya membayar Sayur mayur. Termasuk remaja asal Nusa Tenggara Timur bernama Irfan Muzadi.
Baca Selengkapnya

SEKOLAH PUN BAYAR SAYUR MAYUR...!!

Sekolah bayar sayur? Mungkin hal itu tak pernah terbayangkan dibenak Anda. Namun hal itu nyata adanya dan diterapkan di lembaga pendidikan SD dab SMP ALAM, Dusun Jenengsari Desa Genteng Kulon Kecamatan Genteng, Banyuwangi.

Meski pagi itu mendung menggelayut dilangit Banyuwangi, namun tak mengurangi semangat Ifan Muzadi untuk mengikuti hari pertama disekolah barunya. Ifan salah seorang dari 30 siswa siswa baru di SMP ALAM. Remaja itu lahir 16 tahun yang lalu ditengah keluarga tak mampu di sebuah Desa di Nusa Tenggara Timur. Masa depannya nyaris pupus lantaran kedua orang tuanya 'pasrah' dengan tingginya biaya pendidikan yang layak di Negeri ini.

Namun, secercah harapan untuk masa depannya itu masih ada. Di SMP yang kerap disebut sekolah sayur ini, biaya tak menjadi penghalang untuk mengenyam pendidikan yang layak. Yayasan Banyuwangi Islamic School (BIS), pengelola sekolah berkonsep lingkungan itu tak menetapkan biaya seperti SPP atau uang gedung untuk para siswanya.

"Tak ada biaya apapun, bayarnya apa yang dipunya wali murid. Ada sayur.. ya sayur, ada tomat.. ya tomat tidak bayar pun tak mengapa," jelas Muhammad Farid (35), Kepala Sekolah SD dan SMP ALAM, saat menemaniku berkeliling komplek sekolahnya, kala siang itu.

Lantas dipakai untuk apa sayur mayur dari wali murid itu oleh pihak sekolah? Sayur mayur (atau lainnya) itupun dimasak dan disajikan ke para murid yang selama menjalani pendidikan tinggal di asrama. Sekolah ini memang mewajibkan siswanya untuk tinggal di asrama (Ada dua asrama, putra dan putri). Di hari Sabtu dan Minggu, siswa diberikan waktu untuk pulang kerumah masing-masing. Praktis para siswa masuk kelas hanya lima hari, Senin sampai Jumat.

"Mereka pulang ke rumah pun membawa misi, yakni, menularkan ilmunya ke SD asal mereka. Istilahnya mereka diajarkan untuk dakwah mulai dini," jelas Farid lagi.

Nuansa perpaduan antara pondok pesantren dan sekolah formal sangat terasa disekolah ini. Para pendiri dan pengurus sekolah ALAM, rata-rata menyelesaikan pendidikan sarjananya di Pergurutan Tinggi Islam. Ruang sekolah di desain layaknya gubuk sawah. Tanpa sekat dan kursi. Saat belajar para murid lesehan dilantai bambu. Suasana santai penuh semangat kebersamaan, itulah yang tercipta.

Menurut Farid, sekolah yang dikelolanya menerapkan sistem pembelajaran aktif. Para siswa dibiasakan untuk aktif dan mandiri dalam mempelajari dan mengkaji materi. Proses pembelajaran para murid akan didampingi seorang asisten atau tutor. Guru hanya berfungsi sebagai evaluator.

Alhasil, dua angkatan yang sudah lulus dari sekolah ALAM terbukti memiliki kemampuan lebih. Minimal kemampuan untuk berbahasa Inggris dan Bahasa Arab, menghitung cepat ala sempoa, serta melek Teknologi. Sepertinya tak banyak sekolah yang 'berani' menerapkan sistem serupa, karena sistem tersebut banyak tantangan dalam penerapannya.

"Sistem ini lebih menanamkan siswa untuk termotifasi belajar sendiri secara aktif dengan penuh kesadaran, tanpa ada paksaan. Jadi ada guru atau tidak ada guru, mereka akan tetap belajar. Tak mudah untuk melakukannya, tapi kami sudah buktikan itu," ungkap Farid panjang lebar.

Tentu saja, keberadaan sekolah sayur itu menjadi pilihan bagi masyarakat. Baik dari kalangan bawah atau kalangan berada, ditengah kebutuhan akan pendidikan berkualitas dan murah. Apalagi, nilai-nilai Agama (Islam) menjadi penyimbang. Selain itu sekolah ALAM tersebut mendapat dukungan dari Dinas Pendidikan dengan memberikan ijazah resmi bagi siswa yang lulus.

Dari grafik jumlah siswa yang masuk ke sekolah ini, ditiap tahunnya menunjukkan peningkatan. Grafik itu sekaligus menunjukan jumlah anak bangsa, yang masa depannya terselamatkan dengan hanya membayar Sayur mayur. Termasuk remaja asal Nusa Tenggara Timur bernama Irfan Muzadi.
Baca Selengkapnya
Pasang Banner Di Sini Hubungi Kami
 
Portal Design By Trik-tips Blog - Erwin Krisdiyanto © 2009 | Karir | Kontak | Aturan | Kebijakan | Tentang Kami | Kerjasama | Kembali Ke Atas
PIKKO - Pusat Informasi, Komunikasi, dan Komunitas Online