I Love You Mbah Surip, Turut Berduka Cita, Semoga Diterima Di sisi-NYA, Banner Utama 570x80
Pasang Banner Di Sini Hubungi Kami
Kamis, 16 Juli 2009

Demi Kebutuhan Ekonomi, 5 Keluarga Rela Hidup di Hutan Pinus

Gunung Raung yang memiliki ketinggian 3.332 meter di atas permukaan laut (dpl) berada di wilayah Kabupaten Banyuwangi dan Jember, alamnya masih alami dengan hutan lindung yang memberikan kenyamanan.

Namun siapa sangka di kaki Gunung Raung, tepatnya di Dusun Sidomulyo, Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Banyuwangi, terdapat pemukiman yang dihuni 5 Kepala Keluarga (KK). Penghuninya yakni, Miski(56) asal Desa Margomulyo Kecamatan Glenmore, Banyuwangi, Suham(32), Sahawi(31), Latif (45) dan Asmat (60) asal Kecamatan Arjasa, Jember.

Ke-5 orang itu rata-rata sudah puluhan tahun menetap dan hidup dari hasil hutan. Mereka tinggal di daerah yang dikenal dengan sebutan Curah Ombo (Jurang lebar). Sebutan itu diambil dari jurang menganga lebar yang terdapat di kawasan hutan yang dikelola Perhutani Banyuwangi Barat.

Tidak mudah untuk sampai ke tempat itu lantaran jalan terjal berbatu dan menanjak sepanjang jalan menjadi satu-satunya fasilitas yang ada. Jika ditempuh dari Desa Jambewangi, kawasan itu memerlukan 3 jam perjalanan.

Rupanya, ke-5 orang itu mengaku hidup di tengah hutan pinus yang sepi dan jauh dari keramaian, hanya sebuah keterpaksaan lantaran perekonomian keluarga yang pas-pasan.

"Di kampung tidak ada yang bisa diharapkan, sawah juga gak punya. Mau bagaimana lagi," keluh Latif sambil mengusap keringat di dahinya di kesempatan kala itu.

Menyadap getah pinus menjadi rutinitas sehari-hari. Meski pendapatan lainnya didapat dari berternak kambing untuk digemukkan. Awalnya hidup di hutan belantara dirasakan kurang nyaman, namun lambat laun para pekerja keras itu mulai terbiasa. Meski kendala acapkali dirasakan.

"Susahnya kalau cari sembako, masa harus turun gunung," kata Miski, penyadap pinus lainnya.

Selain itu, kendala lainnya,lanjut Miski, jika senja datang di pemukiman mereka bisa dipastikan akan gelap gulita. Hanya cahaya lampu templek yang menjadi penerangnya.

Belum lagi, yang memiliki anak usia sekolah seperti Suham, rekan Miski. Pagi-pagi sekali Suham harus turun gunung mengantar anaknya berangkat sekolah dan di siang harinya harus menjemputnya kembali.

"Pukul 05.00 WIB subuh saya sudah turun gunung, meski tinggal di gunung anak saya harus sekolah," tegas laki-laki berpawakan sedang ini.

Meski hidup bertahun-tahun di hutan, membuat mereka tetap bertahan. Penghasilan ekonomi keluarga menjadi lebih baik dibandingkan saat hidup di kampungnya. "Sebulan penghasilan kami rata-rata sekitar Rp 900 ribu," ucap Suham bangga.

Demi Kebutuhan Ekonomi, 5 Keluarga Rela Hidup di Hutan Pinus

Gunung Raung yang memiliki ketinggian 3.332 meter di atas permukaan laut (dpl) berada di wilayah Kabupaten Banyuwangi dan Jember, alamnya masih alami dengan hutan lindung yang memberikan kenyamanan.

Namun siapa sangka di kaki Gunung Raung, tepatnya di Dusun Sidomulyo, Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Banyuwangi, terdapat pemukiman yang dihuni 5 Kepala Keluarga (KK). Penghuninya yakni, Miski(56) asal Desa Margomulyo Kecamatan Glenmore, Banyuwangi, Suham(32), Sahawi(31), Latif (45) dan Asmat (60) asal Kecamatan Arjasa, Jember.

Ke-5 orang itu rata-rata sudah puluhan tahun menetap dan hidup dari hasil hutan. Mereka tinggal di daerah yang dikenal dengan sebutan Curah Ombo (Jurang lebar). Sebutan itu diambil dari jurang menganga lebar yang terdapat di kawasan hutan yang dikelola Perhutani Banyuwangi Barat.

Tidak mudah untuk sampai ke tempat itu lantaran jalan terjal berbatu dan menanjak sepanjang jalan menjadi satu-satunya fasilitas yang ada. Jika ditempuh dari Desa Jambewangi, kawasan itu memerlukan 3 jam perjalanan.

Rupanya, ke-5 orang itu mengaku hidup di tengah hutan pinus yang sepi dan jauh dari keramaian, hanya sebuah keterpaksaan lantaran perekonomian keluarga yang pas-pasan.

"Di kampung tidak ada yang bisa diharapkan, sawah juga gak punya. Mau bagaimana lagi," keluh Latif sambil mengusap keringat di dahinya di kesempatan kala itu.

Menyadap getah pinus menjadi rutinitas sehari-hari. Meski pendapatan lainnya didapat dari berternak kambing untuk digemukkan. Awalnya hidup di hutan belantara dirasakan kurang nyaman, namun lambat laun para pekerja keras itu mulai terbiasa. Meski kendala acapkali dirasakan.

"Susahnya kalau cari sembako, masa harus turun gunung," kata Miski, penyadap pinus lainnya.

Selain itu, kendala lainnya,lanjut Miski, jika senja datang di pemukiman mereka bisa dipastikan akan gelap gulita. Hanya cahaya lampu templek yang menjadi penerangnya.

Belum lagi, yang memiliki anak usia sekolah seperti Suham, rekan Miski. Pagi-pagi sekali Suham harus turun gunung mengantar anaknya berangkat sekolah dan di siang harinya harus menjemputnya kembali.

"Pukul 05.00 WIB subuh saya sudah turun gunung, meski tinggal di gunung anak saya harus sekolah," tegas laki-laki berpawakan sedang ini.

Meski hidup bertahun-tahun di hutan, membuat mereka tetap bertahan. Penghasilan ekonomi keluarga menjadi lebih baik dibandingkan saat hidup di kampungnya. "Sebulan penghasilan kami rata-rata sekitar Rp 900 ribu," ucap Suham bangga.

2 komentar:

ajeng_ari mengatakan...

Saya membutuhka kulit kayu pinus dalam jumlah yang sangat besar. Ada yang berminat jadi pengepul kulit kayu pinus ? atau kalau ada yang kenal dengan pengepul kulit kayu pinus, silahkan hubungi kami; Ari, HP : 081336738708 (via SMS).

ajeng_ari mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar

Pasang Banner Di Sini Hubungi Kami
 
Portal Design By Trik-tips Blog - Erwin Krisdiyanto © 2009 | Karir | Kontak | Aturan | Kebijakan | Tentang Kami | Kerjasama | Kembali Ke Atas
PIKKO - Pusat Informasi, Komunikasi, dan Komunitas Online